DUA (a)
***
SORE itu tiba-tiba saja Rio muncul di teras rumah Ify. Ternyata cowok itu bawa mobil Jeep.
“Jadi, mau besuk Alvin?” tanyanya langsung. Masih dengan gaya khasnya. Dingin. Tanpa “hai” apalagi “selamat sore”.
Ify yang sempat terkesima dengan kedatangan Rio yang mendadak itu langsung tersinggung. “Pasti! Ini mau ganti baju. Tapi... elo kok bisa tau rumah gue?”
“Emangnya gue nggak punya informan yang bisa ditanyain?” jawab Rio.
Ify Cuma diam.
Kemudian Rio berkata, “Gue ikut yah? Elo keberatan?”
Ify menatapnya heran dan semakin tersinggung lagi.
“Gue pasti bilang ke Alvin kok, Yo, kalo bangkunya sekarang ditempatin anak baru. Nggak usah kuatir deh.”
“Bukan itu,” Rio menggeleng. “Tinggal dia satu-satunya temen sekelas yang belom gue kenal.”
Ify mengigit bibir dan menimbang-nimbang. Sebernya ia tak ingin pergi berdua dengan Rio. Cukup di kelas saja dia ketakukan setiap hari. Tapi bingung nolaknya. Akhirnya setelah beberapa saat terdiam, Ify mengangguk juga,—terpaksa—apa boleh buat. Habis, mau bagaimana lagi?
Dan sepanjang perjalanan, lagi-lagi Rio tidak bersuara sama sekali. Blas! Hening! Sunyi! Senyap! Dan semacamnya. Ify terpaksa menahan sabar, menahan dongkol, menahan kesal, menahan marah, menahan kaki yang rasanya kepingin loncat saja keluar. Dan dia bertekad, dari rumah sakit nanti, dia mau pulang sendiri naik bus!
“Sudirman belok kanan, Yo.”
“Gue udah ke sana. Ngobrol sama Alvin malah.”
“Apa?” Ify terjolak kaget.
“Sori...” Rio menoleh sekilas, “gue tanya Cakka”
“Kok elo nggak bilang? Terus elo ngapain ngajak gue keluar?”
“Jadi lo gak mau pergi sama gue? Mau pulang sekarang?”
Ify diam. Bingung. Aneh banget si Rio ini!
“Maksud lo apa, sih?”
Rio tidak menjawab. Sepasang matanya menatap lurus ke ruas jalan.
“Yo?” ulang Ify mulai jengkel. Ketika Rio tidak juga bereaksi, Ify mengeluarkan ancaman, “Kalo lo nggak mau ngomong juga, gue turun di lampu merah depan.”
Barulah Rio bereaksi. Dia menarik napas panjang-panjang, lalu membelokkan mobil ke jalan kecil yang dihiasi rimbun pepohonan di sisi kiri dan kanan, dan berhenti di satu sisinya. Tapi kemudian lagi-lagi dia cuma diam. Menatap ke depan begitu lama padahal tidak ada apa-apa di sana. Cuma gelap dan bayang pepohonan.
Namun Ify sudah tidak mau bertanya lagi. Saking dongkolnya, dia kini pasrah. Sehari-hari di kelas saja Rio sudah lebih bisu dari pada orang bisu.
Akhirnya Rio buka suara. Mungkin akhirnya dia sadar bahwa dia yang punya kepentingan, jadi dialah yang harus ngomong.
“Gue, pernah punya cewek, Fy. Dia... dia suka kebun teh.”
Dahi Ify mengernyit seketika. Tercengang sekaligus tidak mengerti kenapa Rio cerita.
“Dan gue... gue suka... kebut-kebutan.”
Rio diam lagi setelah mengucapkan satu kalimat terputus-putus itu. Kening Ify makin berkerut. Dia betul-betul tidak tahu hubungan antara pacar, kebun teh, dan kebut-kebutan.
“Te-rus?” tanya Ify. Pelan dan hati-hati
“Yah karena dia suka kebun teh... gue ajak dia ke kebun teh.”
“Oh...” Ify ber-oh meskipun sebetulnya tidak paham maksud kalimat Rio. Ya jelas dong kalau orang suka kebun teh, ya diajaknya pasti ke kebun teh. Masa ke kebun singkong? Rio ini aneh banget deh! Tapi kemudian Ify melanjutkan, “Pasti dia suka”
“Gue nggak tau.”
“Lho, kok?”
“Ya karena... karena...” Rio menelan ludah, “dia udah nggak bisa gue tanyain lagi.”
“Kenapa? Putus?”
“Bukan...” lirih banget suara Rio. “Bukan putus… dia... dia... meninggal.”
Ify terperangah.
“Maksud lo?”
Rio tidak menjawab, dia malah mengalihkan wajahnya ke arah lain dan menatap kegelapan di sana. Ketika berbicara lagi, suaranya benar-benar bergetar hebat.
“Ke kebun teh. Di lereng gunung... kami naik motor. Waktu itu gue ngebut. Gue suka kebut-kebutan dan Shilla tau itu. ‘ayo kita lawan angin’ begitu dia bilang waktu itu. Dan itu bikin gue lupa diri. Motor gue gas gila-gilaan. Gue pikir, apalagi yang mesti gue pikirin kalo cewek yang gue bawa gak ketakutan? Kami ketawa keras-keras, kami kibarin slayer tinggi-tinggi. Tapi... gue lengah. Gue…” suara Rio semakin serak. “Kami menerjang pagar pengaman. Dia kelempar, Fy... hampir seratus meter. Shilla tergeletak di antara pohon-pohon teh, jauh di bawah. Dan dia... dia...” Kepala Rio terkulai di atas setir. “…Dia koma.. dan meninggal. Gue bunuh dia.. di tempat yang paling dia suka!”
Ify terperangah tak percaya. Apalagi saat dilihatnya air mata Rio mengalir. Tak ada isak yang keluar, tapi tangis seorang cowok, makhluk yang pantang mengeluarkan air mata, itu berarti beban yang dia tanggung benar-benar berat. Beban perasaan bersalah yang pasti akan membuatnya membenci diri sendiri. Dan itu tak bisa dihindari dengan jalan apapun. Kecuali berdamai dengan perasaan bersalah itu. Coba melupakan, atau membiarkan saja dan menerima kenyataan bahwa memang itulah yang sudah terjadi.
Ragu, Ify menyentuh bahu cowok di sampingnya.
“Rio,” bisiknya pelan, “itu udah terjadi. Gue nggak bilang itu harus dilupakan. Cuma... itu lah kenyataannya. Takdir, Yo, elo cuma perantara.”
“Tapi kalo hari itu dia nggak gue ajak pergi, apa dia tetep mati? Nggak kan, Fy? Biarpun kami pergi, kalo gue gak ngebut, apa dia juga tetep akan mati? Nggak, kan? Nggak!!! Bukan takdir yang salah! Gue yang salah...!!!”
Ify bingung sendiri sekaligus ketakutan. Mendadak Rio mirip orang kesurupan. Dia membentak-bentak Ify yang sebenarnya tidak tahu apa-apa.
“Yo, denger yah,” kata Ify sabar. “Bukan elo yang salah, itu udah—”
“Bukan gimana?!” bentak Rio. “Gue yang salah.”
“Iya-iyaaa… elo yang salah!” jawab Ify akhirnya. Dalam hati ia ingin protes keras, kenapa dirinya yang terkena omelan?
“Waktu itu hujan. Jalan licin. Semua udah ngelarang kami pergi. Apalagi ke gunung. Tapi gue nekat…”
“Betul...! elo yang salah!” tandas Ify dengan suara tinggi. “Udah jelas-jelas hujan, kenapa elo pergi juga? Betul itu elo yang salah! Nggak bertanggung jawab!” sambungnya bertubi-tubi. Mending ikutan nyalahin aja deh. Dari pada nggak selamet, batinnya.
Mendengar itu seketika tubuh Rio terhempas, dia menutup wajah dengan telapak tangan. Napasnya memburu, turun-naik dengan cepat.
Ify melunakkan suaranya, dia ngomong pelan dan takut-takut. “Yo, umur Shilla emang Cuma sampe hari itu. Jalan dia meninggal udah ditentukan begitu, lewat elo. Berapa kali pun elo protes, kejadian itu udah terjadi, kan? Elo memohon jutaan kali pun, dia gak akan hidup lagi.”
“Tapi...”
Ify buru-buru memotong kalimat Rio, “Yo, kalo elo ngamuk begini, nanti lama-lama gue bisa mati juga loh.”
Seketika Rio tersadar. Ify benar-benar ketakutan dan sudah terdesak sampai di celah antara jok dan pintu.
“Fy, maaf... maaf…” Rio meraih cewek itu dan memeluknya kuat-kuat. Ify tersentak. Minta ampun nih cowok! Bentak-bentak orang sembarangan, meluk orang juga sembarangan.
“Oh, tenang aja. Nggak apa-apa kok. Belom pernah ada cerita orang bisa mati gara-gara dibentak.” Ify buru-buru melepaskan diri.
“Maaf, Fy, gue nggak sadar.”
“Iya, nggak apa-apa,” Ify buru-buru menenangkan, takut dapat pelukan tiba-tiba lagi.
Rio menghela nafas, menutupi wajah dengan satu tangan. Tubuhnya lunglai, lalu menelungkup di atas setir.
Hening. Cowok itu tenggelam dalam pikirannya sendiri dan Ify tak berani mengusik.
“Ini rahasia kita, Fy.” Tiba-tiba Rio mengangkat wajah. Tertegun, Ify menatap wajah itu. “Jangan bilang siapa pun kalo lo pernah liat gue nangis.” Ify mengangguk. “Itu sebabnya kenapa selama ini gue bersikap dingin, kasar. Gue gak mau ada satu cewek pun deket gue.”
“Iya...” Ify mengangguk lagi, meskipun dalam hati agak heran. Apa Ify nggak kayak cewek ya? “Jadi siapa yang harus pindah?”
“Maksud lo?”
“Iya. Siapa yang harus pindah? Gue apa elo? Tapi sih bagusnya elo aja. Meski pun bermasalah, mendingan elo yang pindah ketimbang gue.”
Rio semakin tidak mengerti. “Kenapa salah satu dari kita harus pindah?”
“Lho... tadi elo bilang, lo nggak mau ada satu cewek pun deket elo. Gue cewek loh. Apa tampang gue mirip Cakka?”
Rio kontan ketawa. Sekarang gantian Ify yang menatap tidak mengerti. Rio geleng-geleng kepala disisa-sisa tawanya. Sesaat kemudian wajahnya kembali serius.
“Ulang tahun Oliv lo dateng?” tanya Rio.
“Belum tau. Emangnya kenapa?”
“Dateng yuk, Fy. Gue jemput ya.”
Ify tersentak kaget. Rio menatapnya seperti merasa bersalah.
“Fy, gue minta maaf. Tapi gue bener-bener perlu bantuan lo. Kalo kita dateng berdua, mereka akan berfikir ada something di antara kita. Dan itu gue harap akan bikin mereka mundur. Gue udah capek ngeliat mereka numpuk di sekeliling meja, tiap pagi, tiap istirahat, tiap jam kosong. Gue juga udah males ngelayanin ajakan mereka. Makan, pulang bareng, belajar kelompok, bergabung di ekskul ini-itu. Belom lagi cewek-cewek yang bikin gue habis kesabaran. Kayak Febby, Prissy, Oik, Agni terus... nggak tau siapa-siapa aja mereka yang laen itu...”
Ify tertegun. Tidak tahu harus senang atau sedih mendengar kata-kata itu. Sesuatu di dalam dadanya terasa luluh saat itu juga.
“Tapi konsekuensinya, Yo...” ujar Ify pelan.
“Elo punya cowok?” Kali ini ganti Rio yang tersentak kaget. “Atau... lagi ada yang elo suka?”
Ify buru-buru menggeleng. “Bukan gitu. Kalo mereka nyangka kita beneran…”
Rio mengangkat alisnya, “Biarin aja. Bagus malah! Atau...” ditatapnya Ify dengan seksama, “elo nggak mau?”
Ify menarik napas diam-diam. Nelangsa.
“Bukan itu. Cuma...”
“Cuma pura-pura kok, Fy, kalo nanti ada cowok yang lo suka, lo boleh pergi...” Seketika Rio menggenggam kedua tangan Ify.
“Fy, tolong. Please…” bisiknya dengan nada memohon yang begitu sulit untuk ditolak.
“Semuanya gue serahin ke elo. Lo boleh bilang apa aja, lo boleh bilang kita memang pacaran, lo boleh bilang gue suka sama elo. Apa aja, gue akan mengiyakan semuanya.”
Ify menatap wajah yang begitu dekat itu. Perlahan ia mengangguk meskipun hatinya patah, paling tidak peluang itu tertutup untuk semuanya. Dan dia akan menjadi satu-satunya orang yang paling dekat dengan Rio. Meskipun cuma untuk sementara dan tanpa ada hubungan apa-apa.
***
Setelah kejadian itu, setelah Rio menceritakan segalanya, Ify tidak lagi melihat Rio sebagai sosok yang menakutkan. Ify justru jadi iba. Pada semuanya, pada kenangan menyakitkan itu, pada penyesalan Rio yang pasti tak tertebus. Terutama pada cara menghalau cewek-cewek yang mendekat.
Dan saat melihatnya lagi pagi ini, berjalan masuk dan menebar pesona yang dimilikinya, dingin tanpa peduli sekeliling, rasanya tak percaya kalau semalam dia telah melihat cowok itu menangis.
“Pagi...” sapanya pun masih seperti biasanya, tanpa senyum. Formal seperti memang harus dilakukan, suka atau tidak.
“Pagi,” jawab Ify. Juga seperti biasa, tanpa senyum.
Meskipun kaget karena Rio telah menganggapnya sebagai orang yang bisa dipercaya dengan menceritakan suatu rahasia yang mungkin paling hitam, Ify tetap tidak anak memberikan senyumnya kalau Rio tidak senyum duluan. Nanti dikira dia punya maksud lagi. Dan senyumnya dianggap senyum murahan.
“Apa kabar, Fy?”
Ify menoleh. Nah, ini baru tidak biasa. Biasanya Rio tidak pernah peduli pada keadaan Ify.
“Baik.”
“Gitu, ya? Bagus deh.”
Diam-diam Rio mengamati reaksi cewek di sebelahnya hari ini. Ternyata tetap tidak berubah. Tetap seperti Ify yang kemarin-kemarin. Yang tidak peduli sama sekali. Yang baru suka bersuara kalau ditegur duluan. Yang lebih suka mengunyah sendiri semua kuenya tanpa menawari apalagi bagi-bagi. Rio bersyukur, berarti dia tidak salah memilih teman sebangku. Berarti juga dia telah menceritakan beban hidupnya yang paling berat pada orang yang tepat.
Tapi seharian Rio jadi gelisah. Mungkin dalam hati, Ify juga sama gelisahnya. Semalaman malah dia nyaris tak bisa memejamkan mata, masih belum yakin apakah Rio serius dengan permintaannya itu. Apalagi cowok itu tidak ngomong apa-apa hari ini.
Ify tidak tahu bahwa Rio sebenarnya ingin membahas masalah itu secepatnya. Tapi kondisinya tidak memungkinkan. Di kelilingnya masih juga bertebaran begitu banyak cewek. Meskipun waktu itu jadi sempat lepas kontrol, marah sejadi-jadinya karena jengkel dikerubungi terus, ternyata tetap tidak bisa mengusir mereka terlalu jauh.
Prissy, Febby, Angel, Agni dan masih banyak lagi yang membuatknya ingin berteriak sekeras-kerasnya. Terpaksa Rio menunggu waktu pulang. Dia harus mengajak Ify pulang sama-sama untuk membahas soal itu. Sayangnya dia lupa. Begitu bel pulang menjerit, Ify selalu langsung kabur ke kelas Sivia, sohibnya di XII IPA 2.
Terpaksa Rio menguntit dua cewek itu diam-diam. Baru setelah keadaan sepi dan aman, buru-buru dia dekati mereka. Menghadang dengan cara menghentikan mobil pas di depan mereka.
“Hai...” Rio menyapa Sivia terlebih dulu.
“Hai...” Sivia membalas agak ragu. Soalnya ini pertama kalinya dia berhadapan muka dengan cowok yang telah menggemparkan sekolah.
“Gue ada perlu sama elo, Fy,” Rio menatap Ify. Cewek itu langsung tahu. Pasti tentang itu, tentang mereka nanti akan “pacaran”.
Sivia menatap mereka berdua. Alisnya bertaut Ify buru-buru memberi alasan, karena Sivia tidak boleh sampai tahu.
“Rio mau kenalan sama Kak Ray, Vi,” jelas Ify, menyebut nama salah satu sepupunya yang terjun ke dunia basket professional.
“Oh...” Sivia mengangguk. Kena tipu dia!
***
“Kak Ray siapa, Fy?” tanya Rio begitu Sivia sudah turun dari Jeep dan mereka tinggal berdua, menyusuri jalan, belik ke arah semula.
“Tukang daging!” jawab Ify asal. Dia tidak mau memberi tahu. Takut Rio nanti jadi tertarik. Apalagi kak Ray sudah sering berlaga di Kobatama. Jangan-jangan nanti Rio maksa-maksa mau kenalan. Bukan apa-apa, masalah ini saja bisa dipastikan bakalan runyam.
Rio jelas tidak percaya. “Terus kenapa gue musti kenalan sama dia?”
Ify tertawa pelan. “Dulu dia pemain basket, terus karena cidera dan gak bisa maen lagi, dia jualan daging.”
“Oh. Begitu.” Rio mengangguk-angguk. Dia tahu Ify bohong. Mana ada mantan atlet banting setir jadi tukang daging. Kecuali atlet matador.
“Mau ngomong masalah itu, kan?” tanya Ify sesaat kemudian.
“Iya, gimana? Udah dipikirin?”
“Udah.”
“Jawabannya?”
“Boleh nggak jawab ‘nggak mau’?”
Rio tertawa.
“Sayangnya jawabannya harus ‘iya’ atau ‘mau’, Fy...”
“Itulah.”
“Fy, tolong. Gue bener-bener butuh bantuan lo.”
Ini orang!!! Keluh Ify dalam hati. Minta tolong tapi harus! Gimana sih?
“Tapi kenapa mesti di ultahnya Oliv, sih? Apa gak terlalu ngagetin?”
“Justru itu,” tegas Rio. “Justru yang gue perlu ya yang bikin kaget begitu.”
“Tapi, kan...”
“Sebentar... sebentar!” potong Rio. “Kita stop dulu, nggak enak ngomong sambil nyetir begini. Elo nggak apa-apa kan, pulang telat?”
“Nggak. Paling-paling gue diomelin nyokap.”
Rio ketawa tanpa suara. Si mungil ini, pikirnya
“Nanti gue jelasin ke nyokap lo, deh, lo nggak usah kuatir.”
Ify cuma mangut-mangut. Bukan nyokap gue yang jadi masalah, gerutunya dalam hati. Tapi elo!
“Mau ngomong apa tadi?” tanya Rio setelah memarkir mobil di satu area parkiran yang teduh.
“Ya... itu. Nanti kalo ditanya-tanyain, gimana? Kita mau jawab apa?”
Sesaat Rio terdiam.
“Ini juga yang mau gue omongin ke elo, Fy,” katanya pelan. “Permintaan tolong gue yang ke dua.”
Kening Ify kontan keriting. “Emangnya ada berapa babak sih permintaan tolong lo itu? Soalnya persediaan tolong gue pas pasat banget nih.”
Rio tertawa dari awal dia memang sudah tahu tidak akan bisa sok cuek dan sok galak di depan cewek satu ini.
“Cuma dua, Fy. Pertama, elo jadi cewek gue. Dan kedua, kayak yang udah gue bilang semalem, tolong lo karang cerita tentang jadian kita ini.”
“Mana sempet, Yo, ultahnya Oliv kan tinggal tiga hari lagi.”
“Bukan di ultahnya Oliv lo mesti jelasin.”
“Terus?” Ify makin nggak ngerti.
Rio tidak menjawab. Dia memang sudah punya rencana sendiri. Ini kepentingannya, jadi dia yang akan memegang kendali. Sementara Ify cukup jadi kopral yang jelas harus nurut apa kata komandan.
“Gak ada terus. Lo karang aja ceritanya. Gak perlu buru-buru. Tapi kita tetep nongol di pestanya Oliv. Selebihnya...” Rio menepuk pundak Ify, “itu urusan gue. Oke?”
Ify tidak bertanya lagi. Bingung. Rio ini ternyata kelewatan banget. Minta tolong tapi otoriter. Dia yang ngatur semuanya. Nggak mau bilang, lagi!
“Iya deh.” Tapi akhirnya Ify mengangguk juga. Pasrah.
***
Ify bingung. Dia benar-benar merasa berjalan di atas bara. Di satu sisi dia tahu persis pesta ultanya Oliv nanti akan jadi ajang untuk merebut perhatian Rio. Yang kentong bokapnya pada gembung kaya Febby, Prissy, Oik, Agni, Angel dan sederet nama lain, kelas berusaha menarik perhatian lewat penampilan. Dan mereka sudah sesumbar akan datang dengan gaun yang “wow”. Sudah pasti oke semua. Tanpa masing-masing mau bilang seperti apa.
Dan semakin mendekati hari H, anak-anak semakin semangat membahas soal itu. Di mana-mana semua sibuk kasak-kusuk. Meskipun yang diundang terbatas, kecuali kelas Oliv sendiri semuanya terpaksa diundang karena kesannya belagu banget kalau pilih-pilih.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sembarang orang bisa masuk ke sana, waktu kelas satu Oliv ngerayain ultahnya yang keenambelas. Ini memang yang kedua kalinya Ify sekelas sama si borjuis satu itu.
Dan Ify belum lupa. Dia dan teman-temannya yang lain sampai terbengong-bengong saking takjubnya melihat rumah Oliv. Gedenya minta ampun! Terdiri atas satu rumah induk dan empat buah paviliun untuk masing-masing anak. Di setiap paviliun ada satu ruang tamu, satu kamar, dan satu ruang makan plus dapur, jadi bisa dibilang Oliv punya rumah sendiri.
Tapi bukan itu yang membuat Ify pusing, dia sih tidak perduli dengan segala macam usaha Oliv. Yang bakalan jadi masalah gawat adalah karena di pesta itu nanti, Rio akan menggandengnya dan mengumumkan ke semua... bahwa mereka pacaran!
***
Dalam doa seperti apa pun, selalu ada harapan untuk dikabulkan. Kecuali doanya Ify mungkin. Yang Mahakuasa pasti mikir juga kalau mau mengabulkan doa yang aneh itu: minta supaya waktu berhenti berputar. Atau kalau tidak bisa, loncat satu hari saja deh. Tolooong, Tuhan…
Karena tidak mungkin dikabulkan itulah maka hari yang ditakutkan akhirnya datang juga. Ultahnya Oliv!
Sejak pagi Ify sudah nervous. Dia jadi banyak diam gara-gara ngeri memikirkan nanti malam, sementara cewek-cewek sekelas begitu ribut dan penuh semangat membahas penampilan mereka nanti.
“Lo kenapa sih, Fy? Kok diem aja?” Keke menatapnya heran. “Dateng nggak ntar malem?”
“Ng... kayaknya sih dateng.”
“Iya dong… dateng. Meskipun kita gak mungkin bisa nyaingin penampilan Oliv, belum tentu juga Rio tertarik sama Oliv. Jadi nggak usah dipikirin deh. Kan kita sama.”
Ify nyengir kuda. Sok tahu banget si Keke ini!
***
Sesuai janji, jam setengah tujuh teng Rio dating dan mereka langsung berangkat ke rumah Oliv. Ify belum pernah merasakan ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran sebesar saat ini. Rasanya hidupnya hampir tamat.
Rumah Oliv, yang dulu pernah membuat Ify kesal karena jauh, sekarang serasa bisa dicapai dengan cuma sekali lompat. Sesaat sebelum mereka sampai ke panggung pementasan mereka yang pertama, Rio menepikan mobil.
“Sori, Fy,” katanya pelan. “Gue nggak tau ke mana lagi gue bisa minta tolong”
Ify geleng kepala. “Nggak apa-apa kok. Gue cuma ngerasa jahat aja.”
“Itu kalo kita jadian beneran. Kenyataannya kan cuma pura-pura, meskipun nggak ada yang tau.”
“Iya sih.” Ify mengangguk, lalu menarik napas panjang-panjang dan menghembuskan kuat-kuat. Sesaat mereka diam.
“Udah?” tanya Rio pelan. Ify mengangguk lagi dengan terpaksa. Habis mau gimana lagi?
***
Oliv ternyata benar-benar mempersiapkan pesta ultahnya khusus untuk menarik perhatian Rio. Dari jauh gemerlapnya lampu-lampu telah terlihat dan suara musik samar terdengar. Dan begitu Jeep Rio muncul di pintu gerbang terdengar, Oliv langsung berdiri dan berlari menyambut dengan gaya dibuat-buat. Ify dan Rio sempat terkesima melihat penampilan Oliv yang nyaris menyaingi penampilan artis Hollywood yang masuk nominasi Oscar.
“Coba liat, Fy. Itu Oliv apa Ibunya?”
Ify tertawa.
“Jahat, lo. Udah jelas-jelas itu Oliv.”
Rio menyeringai.
Oliv masih belum sadar bahwa medan telah berubah, dia masih mengira dirinyalah satu-satunya yang paling gemerlap malam ini. Cewek itu barlari kecil dengan gaya yang—menurut perkiraannya—pasti indah, lalu menyebrangi halaman depan yang luasnya penuh segala macam bunga. Senyumnya merekah. Wajahnya yang lumayan manis jadi semakin manis dengan sapuan make-up meskipun jadi terkesan sudah berumur dua puluh tahunan.
Tapi senyumnya kontan hilang begitu dilihatnya Rio turun dari mobil, membuka pintu penumpang, dan membiarkan Ify turun dari sana. Terpana tak percaya, Oliv mendekat dengan gaya berjalan yang tak lagi seindah dan seanggun tadi.
“Elo ngapain dateng berdua Fy, Yo?” tanyanya tanpa perasaan. Tidak peduli perasaan orang lain bisa tersinggung gara-gara kalimatnya.
Rio tersenyum tipis. “Memangnya kenapa?”
“Yah, setau gue, rumah lo sama rumah Ify kan dari Utara ke Selatan”
“Justru karena itu gue jemput dia, karena rumah lo ini lebih ke Selatan lagi”
“Oh gitu,” jawab Oliv sambil melirik Ify dengan tatapan sinis. Sesaat dia memperhatikan penampilannya.
Ify yang sederhana. Cuma memakai celana panjang pipa warna hitam dipadu blus dari bahan kaus warna biru dengan bahu terbuka dan tali spageti.
“Tadi buru-buru, ya?” sindir Oliv sambil berjalan mendekat lalu berdiri di sebelah Ify. Tujuannya jelas, untuk menegaskan Rio suapaya buka mata lebar-lebar. Bahwa dibandingkan dengan penampilan Oliv, Ify ini benar-benar bagaikan si Itik Buruk Rupa. Datang ke pesta ultah anak direktur kok kayak mau ke warung. Ala kadarnya.
Ify sempat down juga melihat dandanan Oliv yang bak selebriti itu. Untungnya Rio juga tampil sangan kasual. Cuma pake celana jins biru dan kemeja flannel yang juga berwarna biru. Lengan kemejanya digulung sampai siku, sementara satu kancing atasnya dibiarkan terbuka.
Rio tahu persis maksud Oliv, karena itu dia meraih tangan Ify dan menarik cewek itu ke sebelahnya.
“Selamat ulang tahun, Liv,” ucapnya tanpa jabatan tangan, apalagi cium pipi dan palukan. Padahal Oliv sudah menyusun rencana, kalau Rio menjabat tangan pada saat mengucapkan selamat, dia akan meluk cowok itu. Soalnya kalau mengharapkan Rio yang memeluknya, jelas-jelas tidak akan terjadi.
Dan pelukan Rio itu diwakili Ify, yang mengucapkan selamat ulang tahun sambil menyerahkan kado dari mereka berdua.
Oliv jelas tidak sudi membalas pelukan Ify. Pertama, kerena memang bukan dari Ify pelukan yang diharapkan. Kedua, karena Ify dating berdua dengan Rio. Dasar penghianat!
Tanpa menunggu dipersilahkan, Rio langsung mengandeng Ify melintasi halaman luas rumah mewah itu menuju ruang tempat pesta diadakan. Sementara yang punya hajat dibiarkan berdiri terperangah di pintu gerbang.
Begitu masuk ruangan, semakin merasa seperti masuk kandang serigala. Mata-mata yang—sejak tadi dia dan Rio datang—sudah menatap tajam-tajam dengan sejuta makna, keget, tidak menyangka, penasaran, dan menguntit setiap geraknya tanpa jeda. Dia sampai tidak berani melirik kiri kanan.
Ngeri…
Dan yang membuat Ify semakin nervous, semakin salting, Rio memperlakukannya benar-benar mesra. Dia digandeng ke mana saja dan tidak dibiarkan jauh sedikit pun. Kayaknya Rio tahu, sedikit saja dia lengah Ify bisa jadi serpihan. Dicabik-cabik kawanan macan betina di sekitar mereka. Sampai Ify ke kamar mandi pun Rio setia mengekor lalu menunggu di luar mirip satpam pribadi. Rio takut kalau tidak ditungguin, Ify bakalan tewas dibenamkan di bak mandi. Kalau melihat ekspresi wajah-wajah yang hadir, itu memang bukan hal yang mustahil.
Setengah mati Ify berusaha tetap kelihatan tenang. Wajar. Mengimbangi Rio yang sepertinya juga masa bodo dengan suasana pesta yang berubah drastis begitu mereka tiba. Dari meriah jadi mencekam. Ify tak kuasa mencegah. Perasaannya kontan jadi kacau. Jemarinya jadi dingin, dan dalam genggaman Rio, jemarinya semakin dingin lagi.
Rio yang mengira Ify gugup karena ekspresi-ekspresi sinis yang bertebaran di seluruh ruangan pesta akhirnya melepas genggamannya. Tapi gantinya... dia merangkul Ify! Akibatnya lebih parah. Semua mata kontan membesar. Terbelalak tak percaya, dan berpotong-potong hati langsung patah, jatuh berserak.
Ify sendiri tak bisa lagi mencegah perasaannya untuk tidak melambung tinggi di antara awan dan tinggal menunggu kapan dan di mana dia akan jatuh. Dan karena kedatangan mereka memang bertujuan untuk memngumumkan mereka sudah “jadian”, maka Rio merasa satu jam sudah cukup.
Saat itu Oliv sudah siap meniup lilinnya yang baru saja dinyalakan. Diiringi lagu Happy Brithday yang mengalun sumbang dan tepuk tangan ogah-ogahan, dia meniup lilin berbentuk angka 18 itu kuat-kuat. Api di ujung sumbu langsung padam tanpa sempat bergoang kiri-kanan sedikit pun. Setelah itu dia masuk ke ruang tengah dan mempersilahkan siapa saja yang ingin mencicipi kue ultahnya untuk motong sendiri.
Kejadian itu membuat Ify semakin merasa tidak enak. Dia berdoa mudah-mudahan cuma penglihatannya saja yang salah. Acara tiup lilin biasanya selalu jadi momen terpenting dalam setiap pesta ultah, jadi terasa kering, Karena itulah Ify cepat-cepat pamit.
Alhasil, dalam waktu Cuma satu setengah jam, Ify langsung dapat musuh bejibun! Begitu sudah pulang, dia diumpat dan dimaki habis-habisan. “Ify sialan! Kurang ajar! Brengsek!” teriak Oliv nyaring. Tidak peduli rumahnya masih penuh orang.
Wajar kalau Oliv jadi naik darah. Pesta ini bukan pesta murah. Juga bukan pesta amal, berjam-jam dia dandan di salon, sampai badannya pada pegal. Baju yang dia pakai sekarang juga dipesan khusus dari perancang ngetop, dengan enam angka nol di label harganya.
Dan semua itu sia-sia. Sia-sia!!!
Oliv berdiri berang di ambang pintu. Awas aja elo besok, Fy! Bakalan dapet ganjaran! Seenaknya aja maen rebut inceran orang! umpatnya dalam hati.
***
Sekarang baru jam setengah tujuh pagi, tapi sepertinya satu sekolah sudah tahu. Dan semuanya penasaran ingin melihat kayak apa sih cewek yang dipilih Rio.
Ify benar-benar nggak nyangka. Pantas tadi Rio bersikeras mereka harus berangkat sama-sama. Ternyata…
“Aneh!” desis Ify kaget. “Baru juga semalem, masa’ sekarang beritanya udah kesebar?”
Rio tersenyum tipis
“Elo yang aneh. Elo kan cewek, masa’ nggak tau kecepatan mulut cewek?”
“Iya, tapi mulut gue nggak secepet itu.”
Rio jadi ketawa.
“Gila…” desis Ify panik, begitu melirik ke segala arah dan ternyata semua mata benar-benar tertuju pada dirinya.
Ada yang menatapnya dengan sorot aneh, ada yang cuek, ada yang sirik, ada yang sirik banget. Ada yang marah malah. Tapi tak satu pun yang berbahagia melihat Ify berjalan di sebelah Rio. Tahu Ify panik, Rio langsung merapat. Dan itu membuat para mata yang sejak tadi mengikuti mereka menatap semakin lebar.
Kabar bahwa Rio telah memilih seseorang untuk menjadi ceweknya memang sudah menyebar. Cuma dalam tempo sehari, Ify langsung jadi selebriti lokal. Semua ingin tahu, yang pasti sih para ceweknya. Kalau cowok-cowok sih kebanyakan pada masa bodoh masalah itu. Yang mana sih yang namanya Ify? Kayak apa tampangnya? Seksi gak bodynya? Dan setelah tahu yang mana oknum yang bernama Ify itu, kebanyakan langsung protes keras.
“Kok bisa, sih?”
Ify memang manis, apalagi kalau tertawa muncul sepasang lesung pipi dari pipinya dan lagi Ify mungil, putih dan kecil, kayak marmut! Tuh, bayangin, sampai ada yang bilang begitu saking siriknya.
Ify cuma diam, untung gue putih, keluhnya. Coba kalo item, udah kecil, item lagi. Kayak tikus deh.
Masalahnya cewek-cewek yang lebih manis dan lebih cantik dari Ify jumlahnya bejibun. Sebut saja yang paling menonjol: Prissy, kembang SMA Buana Karya kalau dia sih jangan ditanya deh. Gilaaa cantik banget!!!
Semua curiga, dan menduga pasti ada faktor x,y, dan z yang melatarbelakangi proses “jadian”nya Rio-Ify yang terkesan penuh misteri itu. Kalau orang Jawa bilang ujug-ujug gitu loh. Tiada angin, tiada hujan, plus tiada petir pula, kan lucu kalau tiba-tiba saja banjir.
Begitulah kesimpulan para pengamat. Pengamat yang sirik tentunya. Apalagi dari kabar angin yang beredar, Rio juga kejatuhan cinta Prissy sang primadona.
Kan aneh kalau Rio cuek, sementara Prissy yang biasanya tahan harga karena begitu banyaknya peminat, sekarang malah bersedia memberikan diskon sampai lima puluh persen. Khusus buat Rio! Makanya kemudian berkembang isu bahwa Ify “Mandi Kembang Tengah Malam”. Karena mendapatkan Rio dengan begitu gampang. Ify jelas jadi sewot dituduh begitu. Rio sih, seperti biasa, tetap santai dan nggak pusing sama omongan apa pun di sekitarnya. Apalagi dia juga tidak dirugikan dengan tuduhan itu. Tapi Ify ini yang runyam, yang merasa nama dan harga dirinya tercoreng. Mandi Kembang Tengah Malam?
Ify melotot di depan kaca. Emangnya muka gue seancur Mak Lampir? Gerutunya dalam hati. Kalopun iya, kalo kudu sampe mandi kembang ngapain cuma buat Rio? Mending Robert Pattinson sekalian.
Rio sendiri ternyata telah memperhitungkan akibat tindakan mereka itu. Dia langsung mengubah kebiasaan, tidak lagi menunggu bel dengan cara berkeliaran ke kelas-kelas lain atau ngobrol teman-temannya yang juga anak basket, ataupun baca buku di perpus. Dia takut meninggalkan Ify. Takut begitu dia balik, itu cewek keburu RIP.
Oliv juga cewek-cewek lain, jadi semakin dongkol. Mereka terpaksa sabar menunggu kesempatan untuk bisa menggayang Ify. Tapi kesempatan itu sepertinya tidak akan datang, karena Rio-Ify sekarang benar-benar mirip pasangan kembar siam. Ke mana-mana selalu berdua, tak terpisahkan. Makan di kantin berdua, ke perpus berdua, ngerjain tugas berdua. Kalau Rio latihan basket, Ify sabar menunggu di pinggir lapangan. Kalau Ify sibuk di PMR, Rio ikut nimbrung di sekretariat.
Benar-benar bikin sakit mata! Dan banyak orang jadi mau marah!
***
Serapi-rapinya rencana yang sudah disusun, secermat-cermatnya semua kemungkinan yang telah diperhitungkan, tapi yang namanya kejadaian tak terduga bisa datang kapan saja.
Suatu hari, saat Rio harus latihan basket, mendadak ketua PMR memerintahkan seluruh jajaran pengurus untuk berkumpul karena akan ada rapat penting. Hal itu diumumkan lewat pengeras suara waktu jam istirahat pertama. Semua pengurus PMR harus hadir di sekretariat begitu jam sekolah selesai.
Ify yang menjabat bendahara II, jelas saja harus hadir. Bagitu sekolah usai, dia langsung pergi ke sekretariat diantar Rio. Tapi cowok itu cuma bisa mengantar, tidak bisa menunggu karena dia juga harus latihan basket.
Begitu Rio pergi, entah kenapa Ify langsung mendapat firasat jelek. Soalnya di situ ada Agni, anggota PMR. Agni sebenarnya tidak masuk jajaran pengurus, tapi kok hadir? Itu yang aneh!
Pasti dia mata-matanya. Karena waktu istirahat sepuluh menit, tuh anak menghilang, sementara yang lainnya tetap di ruangan. Dan tiba-tiba saja, lima belas menit sebelum rapat selesai, di luar ruangan nongol Oliv dan Febby, diikuti beberapa kaki tangannya. Kalau Ify sedang berjalan berdua dengan Rio, cewek-cewek itu selalu menatap Ify seperti ingin membunuh.
Ify langsung ketar-ketir. Masalahnya, cerita bohongan belum selesai semuanya. Masih banyak bagian yang bolong di sana-sini. Betul saja, begitu rapat selesai, Agni langsung mendekat.
“Kami mau ngomong, Fy.”
“Kami siapa?”
“Lo nggak usah pura-pura bloon deh.”
Ify melirik lewat sudut mata. Tampang Agni jelek banget.
“Ngomong aja kalau mau ngomong.”
“Nggak bisa di sini.”
“Kenapa? Udah deh gak usah sok secret. Gak ada orang juga.”
“Pokoknya gak bisa di sini.”
Belum sempat Ify bilang keberatan, tangannya langsung dicengkram. Dengan kasar Agni menarik si mungil itu keluar. Di luar, Oliv dan Febby—dengan gaya bak bos penyamun—beranjak mendekati sambil melotot.
“Jangan dikira elo bisa lolos selamanya, ya!” bentak Febby.
“Dan elo mesti ngomong yang sejujurnya sama kita-kita,” perintah Oliv dengan pengawalan yang super ketat, Ify digiring pergi dari situ.
***
Berhubung FAIRISH tiap BAB-nya panjang", saya jadiin 2 bagian di masing" BAB. gabisa dibuka lewat HP!
eniwe, ada angin apa ya rajin bener saya ngepost pagi", gangaret pula:p
oya, sori chapter 1 kemaren typo-nya banyak banget. namanya kebalik" saya bingung kebanyakan nama'.')
ini copast novelnya kak ESTI KINASIH yah! masa udah dibilang masih tanya terusssssssss-_-
yang kemaren minta tag tp sekarang gaditag salah sendiri, pelit komen sih:D
@ryco_nan
