DUA (b)
***
Rumah Oik letaknya agak jauh dari SMA Buana Karya. Kalau siang rumah itu sepi, cuma ada pembantu, soalnya Oik anak tunggal dan kedua ortunya kerja. Jadi ke sanalah Ify di bawa.
“Duduk” perintah Oliv. Dengan menahan dongkol, Ify menuruti perintahnya. “Sekarang elo ceritain gimana elo bisa tiba-tiba jadian sama Rio? Jangan coba-coba bohong!”
“Ngapain gue mesti bohong sama lo?” jawab Ify ketus.
“Bagus! Sekarang ceritain yang sebenernya.”
“Lo kira elo tuh siapa nyuruh-nyuruh gue cerita?”
“Eh, elo jangan macem-macem ya! Elo kan tau gue naksir Rio!”
“Itu sih urusan lo!”
Oliv mendesis. Ia melotot sampai manik matanya seolah hampir copot.
“Kurang ajar! Lo tau nggak? Gue udah habis puluhan juta buat pesta kemaren! Emangnya itu semua makanan murah? Lo kira dekorasinya asal-asalan? Belom baju gue!”
“Terus kenapa? Lo mau minta ganti sama gue?”
Oliv langsung tertawa keras.
“Hah, mana bisa? Emangnya lo punya apa, sih? Baju yang lo pake ke rumah gue itu tuh, kalo gue sih, gue pake buat tidur siang! Gue gak bakalan keluar rumah pake baju begitu, apalagi ke pesta!”
Ify mengatupkan bibirnya rapa-rapat. Kalimat panjang itu menikamkan luka. Ify sakit hati!
“Dan kami sangat yakin, itu cuma rekayasa!!” tukas Febby.
“Iya, pasti ada sesuatu.”
“Hahaha...” Ify tertawa untuk menyembunyikan rasa kekagetannya. “Nggak ada rekayasa-rekayasaan kok!”
“Pasti! Karena cowok kayak Rio, nggak mungkin naksir cewek kayak elo!”
“Oh, begitu?” Ify tertawa lagi. Pede banget sih anak satu ini! pikirnya. “Nah, kalo sama gue aja dia gak bakalan naksir, apalagi sama elo!”
Febby, yang bodinya seksi tapi padat, mukanya langsung merah.
“Bukannya elo yang naksir dia duluan?” tuduh Agni.
“Enak aja! Gue gak ada tampang kayak gitu tau!”
“Kali aja lo paksa.”
Ify terperangah sesaat, terus ketawa geli banget.
“Elo tuh kalo ngomong mikir dulu dong! Masa? Lo gak liat badan si Rio gede begitu. Maksa-maksa dia jadi pacar? Bisa koit gue di kemplang.”
Agni terdiam iya juga sih. Rio itu terlalu giant untuk Ify yang kecil mungil. Eh, tapi kan maksanya nggak harus dengan fisik. Bisa maksa dalam bentuk lain. Agni terbelalak. Jangan-jangan isu itu betul! Ify mandi kembang, atau kalau nggak... dia pakai hipnotis!
“Eh, denger ya…” bentak Ify, benar-benar sewot gara-gara dituduh sudah melibatkan dukun, “Kalo pun gue mesti pake jalan kayak gitu, gue nggak bakalan ngincer Rio. Mending juga Bruno Mars kalo dia nanti konser ke Jakarta, atau gue rebut aja sekalian Justin Bieber dari Selena Gomez.”
“Rio bilang alasan dia suka elo?” tanya Febby yang sejak tadi diam. Sebenarnya dia tidak ingin ikutan ngompres Ify, soalnya dia jadi merasa terbanting banget. Sampai harus begini. Masa dia bisa kalah sama cewek melarat?
“Jelas, dong...” jawab Ify bangga. “Pertama, karena gue manis. Kedua, karena gue imut dan mungil. Ketiga, karena gue gak centil kayak elo pada! Dan keempat....” Ify tersenyum centil, “karena dia cinta sama gue.”
“Terus, langsung lo terima?” bentak Febby.
“Kalo pun gue tolak, dia bersedia nunggu. Terus lo semua mau apa?”
Semua tercengang lagi. Sampai segitunya?
Oliv jadi naik darah.
“Bohong! Nggak mungkin! Jangan percaya!!!” Dia menyeruak maju. Ify menutup kuping gara-gara Oliv berteriak di depannya persis.
“Udah deh kalo nggak ada peluang, mending lo cari sasaran lain aja!”
“Apa lo bilang?” teriak Oliv berang. “Lo emang bener-bener sialan.” Dia menyentak tubuh Ify ke belakang. Ify langsung membalas. Dia mendorong Oliv kuat-kuat. Harus kuat-kuat, karena tubuhnya kalah gede.
“Lo jangan gitu dong! Lo mau nanya apa mau ngajak berantem?”
“Udah! Udah!” Angel buru-buru melerai. Dia tidak mau ada bentrok fisik. Bahaya soalnya bisa ke mana-mana beritanya, dan salah-salah bisa disidang di ruang guru. Kalau itu sampai terjadi, alamat dia juga bakalan ikut dipanggil, kan malu jadinya! Emang sih, dia juga dongkol sama Ify, ngiri plus sirik, tapi kalau sampai semua orang tahu dia ikutan ngeroyok, terpaksa pakai topeng ke sekolah!
***
Di tempat lain, Rio juga tidak tenang latihan. Lemparannya tak satu pun ada yang masuk ring. Bayangan Ify yang terpaksa dia tinggal sendirian, membuat konsentrasinya pecah. Dan begitulah latihan—yang waktunya dia percepat sendiri—selesai, Rio langsung cabut ke sekretariat PMR. Tapi terlambat, Ify sudah raib.
Kalang kabut, dia memeriksa semua ruangan satu persatu. Tapi kompleks bangunan di SMA Buana Karya kelewat luas, dan bertingkat pula.
Rio baru memeriksa setengah sekolah, tapi napasnya serasa hampir putus. Kebetulan dia ketemu Mang Dadang. Sang penjaga sekolah itulah yang memberi tahu Rio bahwa Ify diculik Oliv cs ke rumah Oik.
“Sial!” desis Rio sambil buru-buru balik badan dan lari secepat-cepatnya. Benar saja. Waktu dia sampai di rumah Oik, Ify sedang dalam cengkraman Oliv.
Tanpa permisi, dia menerjang pintu depan dan menyeruak masuk dengan langkah-langkah panjang. Cewek-cewek yang mengelilingi Ify kontan diam. Menatap ngeri wajah Rio yang merah padam menahan marah.
Semua langsung menggeser tubuh begitu Rio menerobos ke tengah kerumunan dan meraih Ify ke dalam pelukannya. Cowok itu memandangi wajah-wajah di sekitarnya dengan tatapan tajam. Tanpa bicara, dia membawa Ify keluar.
“Lo nggak apa-apa, Fy?” Dengan cemas dipandangnya wajah di sebelahnya.
Ify tidak menjawab, cemberut berat! Dia sakit hati. Marah, dongkol, emosi. Seenaknya mereka main tuduh. Nggak pada tahu cerita sebenarnya, sih!
Rio merasa bersalah. Makanya dia tidak bertanya lagi, malah mempererat rangkulannya dan berucap lirih, “Maafin gue, Fy.”
***
Sejak peristiwa itu, Rio benar-benar mempererat pengawalannya. Tidak dibiarkannya Ify hilang sekejap pun dari pandangan mata. Dan seandainya jadwal kegiatan ekskul mereka bertabrakan dialah yang mengalah.
Dan Ify yang tadinya slow-slow saja, sekarang jadi ngebut menyelesaikan “makalah” yang membahas seputar jadiannya mereka. Gara-gara cewek-cewek sialan itu, yang bilang segala macam. Rio bego lah, buta lah, kena pelet lah, kena tipu akting cueknya Ify lah, banyak lagi deh. Tapi yang paling menyakitkan adalah ucapan Febby, yang sampai ke telinga Ify setelah lewat estafet panjang.
“Ify emang ketiban bulan. Tapi Rio ketiban monyet.”
Tuh, kurang ajar banget, kan? Waktu Sivia membisikkan kaliamat itu, Ify hampir mbledug. Tapi dia tidak mau memberi tahu Rio soal omongan-omongan itu. Tuh cowok sepertinya sabodo teuing.
Makanya tadi siang di mobil Rio, sekali lagi Ify minta ketegasan cowok itu bahwa soal karang-mengarang itu seratus persen jadi urusannya. Dan Rio mengangguk, alasannya memang cukup masuk akal.
“Kalo lo ngarang, gue juga ngarang, nanti kita terpaksa harus nyocokin sana-sini. Malah repot,” ujar Rio. “Jadi mendingan elo aja. Cewek kan biasanya lebih pinter untuk urusan kayak begitu. Gue tinggal iya aja nanti.”
Alhasil, setelah berfikir mencari inspirasi selama hamper delapan jam, tergolek di atas tempat tidur dengan berbagai pose dan menghabiskan kira-kira enam gelas Milo, satu pak wafer cokelat, sekantongcheesestick, dan sekotak kuaci, “makalah” itu kelar juga meskipun masih banyak bagian yang bolong di sana-sini.
Dan besoknya, minggu sore, Rio mengajak Ify keluar untuk membahas soal itu.
“Kok ke sini?” Ify agak heran waktu Rio membelokkan mobil ke halaman sebuah restoran
“Emang kenapa?” Rio balik nanya.
“Hm... nggak apa-apa sih.” Ify ragu mau bilang resto itu terlalu romantis untuk jadi tempat membahas masalah mereka. Padahal kedatangan mereka ke sini justru untuk menetralkan perasaan. Yang pasti sih perasaan Ify sendiri. Kalau untuk Rio jelas tidak punya perasaan.
Resto ini begitu teduh oleh rimbunnya pepohonan, seluruh bangunannya terbuat dari kayu, pernak-pernik etnik mendominasi hampir seluruh ruangan, bahkan tanaman-tanaman di sekelilingnya. Lukisan-lukisan Bali memenuhi dinding. Ukiran-ukiran Jepara yang anggun menghiasi meja dan kursi. Secara keseluruhan resto ini betul-betul menghadirkan suasana romantis. Endless Love yang mengalun begitu lembut di antara gemeresik daun dan gemericik air juga berhasil menambah pekat kegelisahan Ify yang sedang berjalan di sebelah Rio, menapaki batuan di sela-sela hamparan rumput.
Kenapa sih lagunya Endless Love? Gerutunya dalam hati. Bikin nervous aja!
“Di sini ayam panggangnya enak,” kata Rio setelah mereka duduk berhadapan.
“Oh,” Ify cuma bisa ber-oh. Dia tidak sanggup menelan seenak apapun ayam panggangnya. Masalahnya, mereka akan membahas “makalah” bagaimana mereka telah fall in love dan akhirnya mereka jadian. Padahal itu cuma pura-pura, sementara jauh di dalam hati dan mimpi Ify, dia ingin kebalikannya.
Akhirnya pesanan mereka datang, ayam panggang yang menggiurkan. Berwarna cokelat dengan lelehan lemak dan mentega. Baunya juga benar-benar harum.
“Lo mau apanya, Fy?” tanya Rio sambil menarik ayam panggang itu ke depannya.
“Kakinya aja deh. Kayaknya gue pengen nyepak orang, nih.”
Rio kontan ketawa.
“Jangan nervous gitu dong,” tegurnya halus. Ify langsung tersentak.
Ya Tuhan! Emangnya kelihatan ya? Buru-buru Ify mencari alasan.
“Lo nggak ngerasain sih. Gimana gue nggak kesel kalo dituduh macem-macem!”
Kesibukan Rio memotong-motong ayam langsung terhenti. Dipandangnya Ify dengan sorot minta maaf.
“Sori banget, Fy. Gue bener-bener bego waktu itu, nggak bisa cepet sadar kalo elo dibawa ke rumah Oik. Tapi gue janji, kejadian itu nggak akan terulang.”
Ify menarik nafas lega. Untung deh Rio salah sangka.
“Ini sebagai tanda permohonan maaf gue.” Rio meletakkan satu potong ayam di piring Ify. “Itu bagian yang paling gede loh.”
Ify tersenyum tipis.
“Kita mulai sekarang ya?” tanya Ify. Rio mengangguk tanpa suara karena sibuk makan.
“hmmm...” Ify membuka buku di tangannya dan langsung kebingungan. Kenapa harus ini sih bagian pertamanya? keluhnya.
“Begini, Yo...,” katanya. Belum-belum sudah gugup, “kalo misalnya... elo ditanya... ng... siapa yang… yang...” Ify tergagap, wajahnya merona merah. Ini memang pembicaraan yang sangat sensitif. Tapi Rio tetap santai, mengunyah ayam panggangnya tanpa merasah kasihan melihat wajah kepiting rebus di depannya.
Yang duluan feeling, gitu?” tanya Rio.
“Ng... iya.”
“Gue dong, masa elo.”
“Gitu ya?” Ify menarik napas lega. Untung deh, dia kira Rio akan mempersilahkannya naksir duluan.
“Jadi begini...” Rio berhenti makan, lalu ngelap mulutnya, “karena gue suka sama elo, makanya gue milih duduk sebangku sama elo. Dan kalo mereka nanya kenapa gue suka sama elo, bilang aja elo gak tau.”
“Oh. Itu sih jelas,” jawab Ify seketika. Memang begitu cerita yang sudah dia karang.
“Terus apa lagi?” Rio melanjutkan makannya.
“Terus kita jadian kira-kira sebelum ultahnya Oliv? Sore gitu deh. Abis paginya kan belum ada apa-apa, gimana?”
“Boleh.”
“Teruuuus...” Ify menarik napas panjang. Bagian yang paling membuatnya pusing. Berjam-jam cari inspirasi, tapi tetap tidak dapat juga. Apalagi dia belum pernah punya pacar, jadi tidak punya bahan referensi. “Pas gue dikeroyok itu, Oliv nanya... elo nyatainnya gimana?” muka Ify jadi merah lagi.
“Nyatain gimana?” Rio menatap cewek di depannya sekilas. “Bagusnya gimana?”
“Nggak tau,” jawab Ify polos. Rio tertawa.
“Lo maunya gimana?” pancing cowok itu sambil mengambil setumpuk lalapan daun kemangi dari piring di depannya. Ify gondok banget. Kambing di mana-mana nggak punya perasaan! Gerutunya jengkel.
“Gue maunya sih... nggak ada pernyataan” jawab Ify, mendadak jadi judes. Rio cuma tersenyum, tetap tenang.
“Oke deh. Sori. Kalo ini biar bagian gue. Lo suka sunset?”
“Tergantung. Tapi di Jakarta nggak ada momen sunset yang bagus.”
“Bukan itu poin-nya, Fy. Gue suka berburu sunset. Yang paling bagus gue abadikan di Pantai Senggigi, Lombok. Jadi gitu aja. Bilang gue nyatain suka sama elo. Foto sunset di Senggigi. Ukuran 4R.”
“Agak aneh.”
Rio tersenyum tipis. “Bunga, cokelat, apalagi kartu... itu udah basi, Fy! Emang dulu cowok lo ngasih apa?”
Deg! Ify tersentak. Rio ini...!
“Bukan urusan Lo.”
Rio tersenyum lagi. “Ya udaaah. Balik ke permasalahan. Bilang aja begitu sama Oliv, atau siapa aja yang nanya, besok gue bawain fotonya. Elo kan tau Oliv orangnya nekat. Kalo dia nanya ‘Kok aneh? Ngasih foto?’ bilang aja, gue janji ngajak elo ke sana kalo nanti kita kawin biar dia kapok!”
HAH?!
Asli, Ify sampai terngaga bengong, ya Tuhan… Tabah! Tabah! Tabah!
Alhasil, dua jam berduaan di resto itu, Rio kenyang karena sudah menghabiskan dua piring nasi plus empat potong ayam panggang. Sementara Ify kenyang karena nervous dan jantungnya terus-terusan loncat ke sana kemari.
Kayaknya gue mesti ke rumah sakit nih, keluh Ify dalam hati. Nanya-nanya, kali aja ada jantung nganggur, soalnya jantung gue kayaknya sebentar lagi tewas, karena terlalu sering berdebar-debar lebih cepat dari batas ketentuan maksimum.
***
Ini kayaknya dikit banget yah?
tapi sebodo lah, yang penting gangaret dan bisa dibaca dari HP!
oya, mau tanya, OLIV itu yang mana ya? pake namanya tapi gatau orangnya, haha:D
selamat berbuka puasa kawan":p
@ryco_nan
