Selasa, 27 September 2016

[Happines. That's What You Made]

Hari ini saya belajar sesuatu yang berharga. Yaitu tentang kebahagiaan, dan bagaimana cara menumbuhkannya dalam diri saya.

Selama sebulan ini bayang-bayang kelam dan stress terus menghampiri saya. Mulai dari masalah perkuliahan, sosial, keluarga, sampai yang paling parah. Cinta. Klasik memang, tapi itulah yang terjadi. Komplikasi masalah yang menumpuk.

Sejak sebulan lalu sebelum berangkat ke perantauan, rasa bersalah dan patah hati menggantung kuat dalam diri saya. Sampai-sampai saya tidak berani menguhubungi 'doi' yang jauh disana, karena takut 'doi' kecewa dan akan semakin marah pada saya. Hal itu juga terjadi dalam hubungan saya dan orang tua. Sebulan juga, saya tidak berani menelpon ataupun memberikan kabar takut mengecewakan dan membuat cemas. Padahal apa yang saya lakukan malah membuat mereka semakin cemas.

Dalam pergaulan baru saya di sini, saya juga merasakan cemas. Orang-orang di sekitar saya dengan euphoria mereka dalam menyambut semester baru, tidak juga menggeser kegundahan yang ada di hati saya. Dan saya mulai takut jika ada yang salah dengan saya. Kenapa kebanggan dan euphoria kebahagiaan mereka -dalam menjalani semester baru di kampus terbaik yang patut dibanggakan ini- tidak menular kepada saya? Apa ada yang salah?

Belum lagi masalah kesehatan saya yang semakin menurun. Dan berbagai gejala penyakit yang timbul belakangan ini. Seminggu yang lalu saya pergi ke dokter, dan perkataan dari beliau malah membuat saya semakin cemas akan apa yang terjadi pada saya. Padahal test saja belum berani saya jalani, tetapi ketakutan dalam diri saya sudah menggumpal dalam hati, dan siap meledak menerkam saya kapan saja.

Sudah berapa banyak kata 'takut' dan 'cemas' yang saya jabarkan di atas?

Seperti yang sudah kita pahami, dua kata tadi yang menyebabkan kebahagiaan kita bersembunyi. Takut dan cemas yang berlebih malah membuat kita semakin terpuruk dan jauh dari kebahagiaan.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Maka langkah yang saya ambil pagi hari ini ketika bangun adalah, memberanikan diri keluar dari zona nyaman yang saya buat karena ketakutan. Zona nyaman yang saya sebut dengan 'zona pengecut'.

Maka ketika membuka mata, hal pertama yang saya lakukan adalah mengirimkan pesan rindu kepada 'doi'. Memang, sebuah ketakutan baru muncul saat itu. Takut tidak berbalas, takut jika respon yang diberikan menyakitkan, dan pikiran negatif lain. Setelah satu jam menghindari membuka ponsel, akhirnya saya beranikan diri. Dan pesan itu berbalas. Singkat, tanpa menyakitkan. Kemudian kebahagiaan mulai datang pada saya.

Langkah kedua, saya menghapus ketakutan lain. Seolah mendapat kekuatan dari keberhasilan -menyingkirkan ketakutan- pertama, saya menelpon ibu saya. Sekedar menanyakan kabar dan ditanyai kabar, tapi ibu terdengar lega diujung sana. Karena pesan-pesan yang beliau kirimkan melalui Whatsapp selama ini selalu jarang terbalas. Sungguh, saya merasa durhaka saat ini. Ketakutan yang sudah menang kala itu, kini terkalahkan sudah. Dan suatu kelegaan dan kebahagiaan muncul kembali dalam diri saya.

Dari dua contoh di atas, saya simpulkan bahwa bahagia adalah apa yang kita buat sendiri. Percuma saja jika orang lain berusaha membuat kita bahagia, tapi kita tidak punya niat untuk bahagia. Maka, bahagia sesungguhnya muncul dari dalam diri kita sendiri, seperti rasa takut.

Keluar dari zona nyamanmu, kalah kan ketakutanmu. Kamu lebih besar dari ketakutanmu! Dan jangan lupa bersyukur, Tuhan memberimu kekuatan besar untuk itu. Hanya saja kamu enggan menggunakannya. Cheers!!!

-Kz