Kamis, 29 September 2016

D-22 [Mengeluh dan Bersyukur]

Terlalu banyak yang terjadi hari ini, kebanyakan kesialan setengah mati. Terlalu banyak juga pelajaran yang saya dapat hari ini. Dan kalau boleh dibilang, saya bingung mau menuliskan yang mana. Jujur saya, D-22 ingin saya jadikan yang paling mengena. Karena 22 adalah bilangan favorit saya sejak masih di SMP.

So, saya akhirnya memutuskan tema 'mengeluh dan bersyukur'.

Jadi kesialan dan pelajaran hari ini adalah.....

Tunggu...

Dimulai dari bangun kesiangan, datang di kelas hampir terlambat, diread doang, dosen pengganti yang nggak asyik, nggak sarapan, makan siang yang terlambat dan terburu-buru, udah buru-buru makan siang malah ditinggal teman, sakit perut, penyakit kumat, hmm.... apalagi? Oh iya, sudah buru-buru balik malah kekunci dan nggak bisa masuk kamar. Jadilah ndelosor ria di depan kamar dengan keadaan perut melilit campur aduk. Setelah berhasil masuk kamar, sakit malah menjadi-jadi. Mau ke apotek beli obat? Jalan jauh banget dan badan udah lemes banget. Dan jadilah nitip sama kakak tingkat yang baik hati banget mau mencarikan obat aneh yang langka (Thankyou qaqa).

Tunggu lagi!!!!!

Kok saya jadi mengeluh seperti ini ya? Hm... Sepertinya saya kurang bersyukur nih. Nah, ini nih yang bikin hari ini terasa berat banget, sesara sengsara banget. Kalau kata anak gawl sih 'bad-day'. 

Apa yang terjadi kalau kita kurang bersyukur? Ya seperti ini, mengeluh dan terus mengeluh sampai seakan-akan dunia mau runtuh. Semua pemberian Tuhan sampai tertutup keberadaannya di mata kita.



"Sesuatu yang paling banyak membuat orang merugi adalah selalu mengeluh dengan kenyataan pahit dalam hidupnya, membicarakan hal-hal negatif tentang kehidupan." (Hidupkan Hidupmu!: 2014)


Jadi, marilah kita ucapkan "Alhamdulillah" sebanyak-banyaknya. Bersyukur itu mudah kok, coba saja hitung pemberian Tuhan kepada kita dalam waktu satu jam terakhir saja. Kesehatan, kelengkapan anggota tubuh, udara, makanan, minuman, kuota internet, segalanya tidak dapat saya sebutkan disini apalagi dihitung seberapa banyak nilai. Tak terhingga bukan? membuat kita merasa kecil di hadapannya. Jadi, apa alasanmu untuk tidak bersyukur detik ini?

Bersyukurnya, saya memiliki seseorang yang selalu mengingatkan saya untuk bersyukur. Siapa lagi kalau  bukan 'doi'? Seorang yang saya pertahankan mati-matian.

Dulu sebelum saya berhijrah, saya sering diajaknya berkeliling ke tempat-tempat yang dapat membuat saya membuka mata pada dunia. Melihat orang-orang yang jauh lebih sengsara dengan permasalahannya yang lebih rumit, orang-orang yang berjuang demi sesuap nasi, yang bertahan dengan tidur di emper toko, yang melawan kodrat dengan -maaf- merubah dirinya yang laki-laki menyerupai wanita untuk mendapat sesuap soto di pojok pasar, semua yang lebih kekurangan daripada saya. Di situlah saya melihat, betapa adilnya Tuhan, bahkan orang-orang seperti mereka masih diberikan rezeki untuk bertahan hidup. Betapa lebih beruntungnya saya daripada mereka.

Dan masih ingat sekali, ia meminta saya untuk sering-sering bersyukur dan berhenti mengeluhkan keadaan yang serba berkecukupan.

Sssstt... sudah jangan protes! Saya juga ndak tahu kenapa postingan saya pasti ujung-ujungnya bakal ngebahas dia lagi.

Ya sudahlah... wong cuma diread doang. Jadi, Alhamdulillah sampai disini saja post saya hari ini.

Marilah budayakan bersyukur!

Munchah kisses to u all.

Cheers!!

-Kz

Rabu, 28 September 2016

[Sarkasme]

Banyak pendapat dari orang-orang yang saya kenal, paling banyak menyatakan saya adalah pribadi yang ceplas-ceplos dalam bertutur kata. Dan tanpa saya sadari, itu terkadang menyakiti mereka. Padahal tidak ada niatan bagi saya untuk mengolok-olok atau mengejek. Itu alamiah terceplos begitu saja.


Sering dengar pepatah 'mulutmu haraimaumu'? Ya, pepatah itu saya asumsikan 100% benar.

Dari beberapa kawan yang menggunakan bahasa gaul, ataupun bahasa Inggris dalam pergaulannya, mereka menyebut saya sarcastic. Sarcastic atau dalam bahasa Indonesianya 'sarkastik' dengan kata dasar sarkasme.
sarkasme/sar·kas·me/ n (penggunaan) kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain; cemoohan atau ejekan kasar.
Begitulah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Dari pengalaman yang saya dapatkan hari ini -yaitu menyakiti hati pasangan saya-, saya berencana untuk memperbaiki diri dalam hal ucapan. 

Tanpa sadar pagi ini saya melontarkan kalimat yang menurut saja adalah sebuah guyonan, tapi ia menangkap itu sebagai ejekan. Padahal saya sama sekali tidak berniat untuk seperti itu. Seketika itu dia langsung memprotes saya, dan saya langsung merasa tertohok.

Saat saya kembali ke kamar asrama -selama sebulan ini saya sudah tinggal di asrama-, saya bertanya pada teman sekamar saya. Dia juga seorang yang sarkastik, namun pandainya ia memanfaatkan kekurangan ini menjadi kelebihan dalam bidang debating. Saya menanyakan perihal sarkastik, dan membuka diskusi dengan dua orang teman lain. 

Disinilah saya menyadari, bahwa ucapan saya memang seharusnya difilter terlebih dahulu sebelum diucapkan.

Dan di sini saya juga ingin mengucapkan kepada kalian semua yang mengenal saya, yang pernah tersakiti hatinya oleh perkataan saya, atau malah sering. 

Saya meminta maaf sebesar-besarnya atas semua perkataan saya yang mungkin menyakiti hati kalian.Dan berterimakasihlah kepada seorang pria yang menyadarkan saya pentingnya berbikir sebelum berucap.

Ngomong-ngomong, saya jadi teringat dengan seorang kakak tingkat saya -yang barusan dengan baik hatinya mau mengantarkan makanan ke asrama saya-. Menurut pengamatan saya, ia adalah seorang pemikir. Bahkan, setiap akan berucap ia selalu memikirkannya terlebih dahulu. Hingga terkadang saya juga jadi gemas sendiri menunggu perkataannya. Namun, ini bukanlah suatu hal yang salah. Karena sejauh ini, banyak teman-teman saya yang malah menyukainya dan menjadikannya tempat mencurahkan cerita atau meminta pendapat. Nah terlihat bukan? Perkataan yang baik adalah merupakan cerminan jiwa yang baik, yang akan membuat orang lain respect terhadap kita.

Yah ceritanya hari ini saya cuma kepingin bercerita tentang satu dari sekian banyak bad-habbit saya, dan kerugian yang saya dapat dari itu.

Maka teman-teman, ada baiknya kita berpikir terlebih dahulu sebelum berucap. Karena pada dasarnya setiap perkataan adalah doa.

Sekian.

-Kz

Selasa, 27 September 2016

[Happines. That's What You Made]

Hari ini saya belajar sesuatu yang berharga. Yaitu tentang kebahagiaan, dan bagaimana cara menumbuhkannya dalam diri saya.

Selama sebulan ini bayang-bayang kelam dan stress terus menghampiri saya. Mulai dari masalah perkuliahan, sosial, keluarga, sampai yang paling parah. Cinta. Klasik memang, tapi itulah yang terjadi. Komplikasi masalah yang menumpuk.

Sejak sebulan lalu sebelum berangkat ke perantauan, rasa bersalah dan patah hati menggantung kuat dalam diri saya. Sampai-sampai saya tidak berani menguhubungi 'doi' yang jauh disana, karena takut 'doi' kecewa dan akan semakin marah pada saya. Hal itu juga terjadi dalam hubungan saya dan orang tua. Sebulan juga, saya tidak berani menelpon ataupun memberikan kabar takut mengecewakan dan membuat cemas. Padahal apa yang saya lakukan malah membuat mereka semakin cemas.

Dalam pergaulan baru saya di sini, saya juga merasakan cemas. Orang-orang di sekitar saya dengan euphoria mereka dalam menyambut semester baru, tidak juga menggeser kegundahan yang ada di hati saya. Dan saya mulai takut jika ada yang salah dengan saya. Kenapa kebanggan dan euphoria kebahagiaan mereka -dalam menjalani semester baru di kampus terbaik yang patut dibanggakan ini- tidak menular kepada saya? Apa ada yang salah?

Belum lagi masalah kesehatan saya yang semakin menurun. Dan berbagai gejala penyakit yang timbul belakangan ini. Seminggu yang lalu saya pergi ke dokter, dan perkataan dari beliau malah membuat saya semakin cemas akan apa yang terjadi pada saya. Padahal test saja belum berani saya jalani, tetapi ketakutan dalam diri saya sudah menggumpal dalam hati, dan siap meledak menerkam saya kapan saja.

Sudah berapa banyak kata 'takut' dan 'cemas' yang saya jabarkan di atas?

Seperti yang sudah kita pahami, dua kata tadi yang menyebabkan kebahagiaan kita bersembunyi. Takut dan cemas yang berlebih malah membuat kita semakin terpuruk dan jauh dari kebahagiaan.

Lalu apa yang harus kita lakukan?

Maka langkah yang saya ambil pagi hari ini ketika bangun adalah, memberanikan diri keluar dari zona nyaman yang saya buat karena ketakutan. Zona nyaman yang saya sebut dengan 'zona pengecut'.

Maka ketika membuka mata, hal pertama yang saya lakukan adalah mengirimkan pesan rindu kepada 'doi'. Memang, sebuah ketakutan baru muncul saat itu. Takut tidak berbalas, takut jika respon yang diberikan menyakitkan, dan pikiran negatif lain. Setelah satu jam menghindari membuka ponsel, akhirnya saya beranikan diri. Dan pesan itu berbalas. Singkat, tanpa menyakitkan. Kemudian kebahagiaan mulai datang pada saya.

Langkah kedua, saya menghapus ketakutan lain. Seolah mendapat kekuatan dari keberhasilan -menyingkirkan ketakutan- pertama, saya menelpon ibu saya. Sekedar menanyakan kabar dan ditanyai kabar, tapi ibu terdengar lega diujung sana. Karena pesan-pesan yang beliau kirimkan melalui Whatsapp selama ini selalu jarang terbalas. Sungguh, saya merasa durhaka saat ini. Ketakutan yang sudah menang kala itu, kini terkalahkan sudah. Dan suatu kelegaan dan kebahagiaan muncul kembali dalam diri saya.

Dari dua contoh di atas, saya simpulkan bahwa bahagia adalah apa yang kita buat sendiri. Percuma saja jika orang lain berusaha membuat kita bahagia, tapi kita tidak punya niat untuk bahagia. Maka, bahagia sesungguhnya muncul dari dalam diri kita sendiri, seperti rasa takut.

Keluar dari zona nyamanmu, kalah kan ketakutanmu. Kamu lebih besar dari ketakutanmu! Dan jangan lupa bersyukur, Tuhan memberimu kekuatan besar untuk itu. Hanya saja kamu enggan menggunakannya. Cheers!!!

-Kz