Sejak pertama bertemu tak pernah ku kira kita bisa sedekat ini. Aku hanya bisa membayangkan, bagaimana rasanya dekat denganmu. Menceritakanmu kepada teman-temanku, tanpa harapan bisa bertemu kembali. Tentu saja semua menganggapku bodoh.
Dulu, sesuai pertemuan kita aku hanya bisa membayangkan bersamamu tanpa berani berharap. Dan memantapkan hati, untuk mengagumimu dalam diam.
Tak kusangka pesan candaanku pada sahabatku -yang ia kirimkan padamu- berakhir seperti ini.
Berakhir dengan kau ikut-ikutan mencintaiku. Menjalin cinta tanpa kejelasan selama lima bulan.Bertengkar, kembali, bertengkar, dan terus kembali hingga kini. Dimana kita harus terpisah jarak, demi masa depanku -dan kuharap juga kita-.
Kupikir ini akan baik -baik saja, karena jarak usia kita yang jauh tak pernah menganggu. Tapi kau ungkapkan ke-tidak-sanggupanmu pada jarak antar kota.
Tahukah kau? Tidak pernah ada yang membuat imajinasiku -kebanyakan yang liar- menjadi senyata saat bersamamu. Tidak ada yang mengungkapkan suara dalam pikiranku, sama persis.
Itulah mengapa kupikir kita sehati, sepikiran, dan sejiwa.
Semoga saja Tuhan mengabulkan doaku. Membuka pintu hatimu untuk bertaubat -ini untuk restu ayah-, memisahkan jarak antara kita -untuk kita-, dan menjadikanku tulang rusukmu -untuk kebahagiaan kita-.